Navbar sama External CSS

Rabu, 20 November 2013

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
NOMOR 01 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR,
Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan
daerah;
b. bahwa kebijakan pajak daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas dengan
memperhatikan potensi daerah;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur
Nomor 05 Tahun 2002 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 06 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Timur Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pajak Kendaraan Bermotor, dan
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 22 Tahun 2008 tentang Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor, perlu disesuaikan dengan Undang-Undang
dimaksud;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b
dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Provinsi
Kalimantan Timur.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Otonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686);
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4189);
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4355);
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377) ;
10. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
11. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4438);
14. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
15. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran
Negara Republik Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5038);
16. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 5049);
- 3 -
17. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 4049) ;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4575);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4593);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5161);
22. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2004 Nomor 15 E, Tambahan Lembaran
Daerah Nomor 19);
23. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 05 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran Daerah
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2008 Nomor 05);
24. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 08 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2008 Nomor 08, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2008 Nomor 33).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
dan
GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN
TIMUR.
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Kalimantan Timur.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
4. Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Timur.
5. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
7. Dinas Pendapatan adalah Dinas Pendapatan Provinsi Kalimantan Timur.
8. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan Provinsi Kalimantan Timur.
9. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Kalimantan
Timur.
10. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
11. Pajak Daerah Provinsi Kalimantan Timur, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib
dan/atau kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan keperluan pembiayaan
Pembangunan Daerah yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
12. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan
oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar
seluruh pengeluaran daerah.
13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di
semua jenis jalan darat, dan digerakan oleh peralatan tehnik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan
bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya
menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air.
14. Kendaraan bermotor umum, adalah setiap kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan
barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
15. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB, adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor.
16. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah pajak atas
penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan
sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan
ke dalam badan usaha.
17. Jenis Kendaraan Bermotor adalah sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan
kendaraan khusus, sebagaimana dimaksud di dalam pasal 47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 5 -
18. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah pajak atas
penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.
19. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair, gas dan padat yang
digunakan untuk kendaraan bermotor.
20. Pajak Air Permukaan disingkat PAP adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
permukaan.
21. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik
yang berada di laut maupun di darat.
22. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
23. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban pajak.
24. Wajib Pungut adalah orang pribadi atau badan yang berkewajiban memungut PBBKB atas terjadinya
transaksi penjualan bahan bakar kendaraan bermotor dari produsen dan/atau nama lain yang sejenis
(penyedia) atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada lembaga penyalur dan konsumen
langsung.
25. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan
Peraturan Gubernur paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
26. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam
Tahun Pajak, dan/atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan daerah.
27. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
28. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Daerah, yang disingkat SPOPD, adalah surat yang dibuat oleh
Wajib Pajak untuk melaporkan obyek pajak sebagai dasar perhitungan dan/atau pembayaran pajak.
29. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
30. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
31. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
32. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus
dibayar.
33. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
34. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak
lebih besar dari pada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
35. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pajak pokok sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
- 6 -
36. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan atas pembetulan yang terdapat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
37. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak
Ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
38. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat , dalam Masa Pajak, dalam
Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan daerah.
39. Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB, adalah nilai jual kendaraan
bermotor yang diperoleh berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu kendaraan bermotor,
sebagaimana tercantum dalam tabel Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang berlaku.
40. Bobot, adalah koefisien yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran
lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
41. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perhimpunan data obyek dan subyek pajak
penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta
pengawasan penyetorannya.
42. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah ( BUMN atau BUMD)
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis
lembaga bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi, kolektif dan
bentuk usaha tetap.
43. Subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.
44. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana di bidang Pajak Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
45. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
46. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
47. Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
Juru Sita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
48. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan
kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan Hak dan Kewajiban
perpajakannnya.
49. Kinerja tertentu adalah pencapaian realisasi penerimaan pajak daerah setiap bulan dalam satu tahun
anggaran.
50. Instansi Pemerintah adalah Pemerintah, TNI/POLRI, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
- 7 -
BAB II
JENIS PAJAK
Pasal 2
Pajak Daerah adalah terdiri 5 (lima) jenis:
a. PKB;
b. BBNKB;
c. PBBKB;
d. Pajak Air Permukaan;
e. Pajak Rokok;
BAB III
PAJAK KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 3
Dengan nama PKB dipungut pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
Pasal 4
(1) Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
(2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan disemua jenis jalan darat.
(3) Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Kereta api;
b. Kendaraan bermotor yang semata-mata dipergunakan untuk pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan, Negara
asing dan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas
pembebasan pajak dari pemerintah;
d. Kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
Bagian Kedua
Subjek Pajak
Pasal 5
(1) Subjek PKB meliputi orang pribadi atau badan dan Instansi Pemerintah yang memiliki dan atau
menguasai Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib PKB meliputi orang pribadi atau badan dan Instansi Pemerintah yang memiliki Kendaraan
Bermotor.
(3) Yang bertanggung jawab atas pembayaran PKB adalah :
a. Untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan, kuasanya dan ahli warisnya.
b. Untuk badan adalah pengurus atau kuasanya.
c. Untuk Instansi pemerintah adalah pejabat pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
- 8 -
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 6
(1) Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2 (dua) unsur pokok:
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor, dan
b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran
lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
(2) Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan
alat-alat besar, dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah nilai jual kendaraan bermotor.
(3) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor:
a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan
bermotor;
b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik,
tenaga surya, dan/atau jenis bahan bakar lainnya; dan
c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan
berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.
(4) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1
atau lebih besar dari 1, dengan pengertian sebagai berikut:
a. Koefisien sama dengan 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh
penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
b. Koefisien lebih besar dari 1 berarti penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati
batas toleransi.
(5) Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu kendaraan
bermotor.
(6) Harga Pasaran Umum (HPU) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
(7) Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan berdasarkan Harga
Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.
(8) Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, Nilai Jual
Kendaraan Bermotor (NJKB) dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
a. harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
b. penggunaan kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama;
c. harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama;
d. harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama;
e. harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor;
f. harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis; dan
g. harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(9) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan dalam suatu tabel
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
- 9 -
(10) Dalam hal dasar pengenaan pajak belum tercantum dalam tabel yang ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Gubernur menetapkan dasar pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dimaksud dengan Peraturan Gubernur.
(11) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
ditinjau kembali setiap tahun.
Bagian Keempat
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 7
Tarif PKB ditetapkan sebesar:
a. 1,5% (satu koma lima persen) untuk kepemilikan pertama Kendaraan Bermotor pribadi;
b. 1,0% (satu koma nol persen) untuk Kendaraan Bermotor umum;
c. 0,5% (nol koma lima persen) untuk kendaraan ambulance, pemadam kebakaran, sosial keagamaan,
lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI dan Pemerintah Daerah;
d. 0,2% (nol koma dua persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.
Pasal 8
(1) Kepemilikan Kendaraan Bermotor pribadi kedua dan seterusnya dikenakan tarif secara progresif.
(2) Tarif Progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk:
a. Roda 4 (empat) atau lebih:
- Kepemilikan kedua 2 % (dua persen)
- Kepemilikan ketiga 2,5 % (dua koma lima persen);
- Kepemilikan keempat 3 % (tiga persen);
- Kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 3,5 % (tiga koma lima persen).
b. Roda 2 (dua) dan roda 3 (tiga) diatas 350 cc:
- Kepemilikan kedua, 2 % (dua persen);
- Kepemilikan ketiga, 2,5 % (dua koma lima persen);
- Kepemilikan keempat, 3 % (tiga persen);
- Kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar, 3,5 % (tiga koma lima persen).
(3) Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan alamat yang sama.
(4) Penghitungan progresif terhadap kepemilikan kendaraan bermotor yaitu terhadap kepemilikan lebih
dari 1 (satu) kendaraan bermotor roda 4 (empat) dan kepemilikan lebih dari 1(satu) kendaraan
bermotor roda 2 (dua) dan roda 3 (tiga).
Bagian Kelima
Tempat dan Kewenangan Pemungutan
Pasal 9
(1) PKB dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
(2) Kewenangan pemungutan PKB ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Pelaksanaan kewenangan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan.
(4) Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor.
(5) Pembayaran pajak tahun berikutnya dapat dilakukan di kas daerah atau bank yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah.
- 10 -
Bagian Keenam
Pajak Terutang
Pasal 10
Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
Bagian Ketujuh
Masa Pajak
Pasal 11
(1) Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung
mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor.
(2) PKB yang karena keadaan Kahar (force majeure) masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, maka
dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar untuk porsi masa pajak yang belum dilalui;
(3) Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedelapan
Surat Pemberitahuan
Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak mengisi SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan.
(2) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau orang yang diberi
kuasa olehnya.
(3) SPOPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat:
a. Untuk kendaraan baru 30 (tiga puluh) hari sejak saat kepemilikan;
b. Untuk kendaraan bukan baru sampai dengan tanggal berakhirnya masa pajak;
c. Untuk Kendaraan Bermotor mutasi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Keterangan
Fiskal/Kwitansi.
(4) Apabila terjadi perubahan atas Kendaraan Bermotor dalam masa pajak, baik perubahan bentuk,
fungsi maupun penggantian mesin, wajib melaporkan dengan menggunakan SPOPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
(1) SPOPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat, nomor telpon, email, lengkap pemiliknya;
b. Jenis, merk, isi cylinder/tenaga kuda (HP), tahun pembuatan, tahun perakitan, warna, nomor
rangka dan nomor mesin.
(2) Bentuk dan isi SPOPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.
- 11 -
Pasal 14
(1) Pemungutan PKB dilarang diborongkan.
(2) Gubernur menetapkan PKB terutang dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa karcis dan nota
perhitungan.
Pasal 15
Apabila terjadi pemindahan Kendaraan Bermotor dari Daerah lain ke Daerah, maka Wajib Pajak yang
bersangkutan harus melampirkan bukti pelunasan Pajak dari Daerah asalnya berupa Surat Keterangan
Fiskal Antar Daerah.
Pasal 16
Apabila terjadi pemindahan Kendaraan Bermotor dari Daerah ke Daerah lain, maka Wajib Pajak yang
bersangkutan harus melampirkan bukti pelunasan Pajak sebagai persyaratan untuk diterbitkan Surat
Keterangan Fiskal Antar Daerah.
Pasal 17
Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, apabila terlambat dan/atau tidak dilakukan dikenakan sanksi administrasi
sebesar Rp.50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah).
Pasal 18
(1) Sebelum berakhirnya Masa Pajak Kendaraan Bermotor, Gubernur dapat menerbitkan Surat
Pemberitahuan Kewajiban Pemilik Kendaraan Bermotor (Super KPKB).
(2) Surat Pemberitahuan Kewajiban Pemilik Kendaraan Bermotor (Super KPKB) sebagaimana
dimaksud ayat (1), dalam bentuk kertas atau elektronik.
Bagian Kesembilan
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 19
(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD jika:
a. PKB dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan PKB yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk
paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
(4) Bentuk, isi, dan tata cara penyampaian STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
- 12 -
Pasal 20
(1) PKB harus dibayar sekaligus di muka untuk masa 12 (dua belas) bulan.
(2) Gubernur menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak
(3) SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak
dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(4) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(5) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran penundaan pembayaran PKB diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 21
(1) Gubernur menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan, apabila PKB terutang berdasarkan
SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding
yang tidak atau kurang bayar setelah 7 (tujuh) hari kerja sejak saat jatuh tempo.
(2) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan, harus
melunasi PKB terutang.
(3) Apabila jumlah PKB terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
Surat Penagihan atau Surat Peringatan, jumlah PKB terutang ditagih dengan Surat Paksa.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh
Pengurangan, Keringanan, Dan Pembebasan PKB
Pasal 22
(1) Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan dan
pembebasan PKB.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan PKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
BAB IV
BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 23
Dengan nama BBNKB, dipungut pajak atas penyerahan Kendaraan Bermotor di Daerah.
- 13 -
Pasal 24
(1) Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan
Bermotor.
(2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat.
(3) Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. Kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan
negara;
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara
asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas
pembebasan pajak dari Pemerintah;
d. Kendaraan tenaga ahli asing yang diperbantukan kepada Pemerintah Indonesia yang sumber
dananya berasal dari bantuan hibah;
e. Kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
(4) Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dapat dianggap sebagai
penyerahan.
(5) Penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk penguasaan
Kendaraan Bermotor karena perjanjian sewa beli.
(6) Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
a. untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan;
b. untuk diperdagangkan;
c. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia;
d. digunakan untuk pameran, penelitian, contoh dan kegiatan olah raga bertaraf internasional;
(7) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c tidak berlaku apabila selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.
Bagian Kedua
Subjek Pajak
Pasal 25
(1) Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor meliputi orang pribadi atau Badan yang dapat
menerima penyerahan kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor meliputi orang pribadi, atau Badan yang
menerima penyerahan kendaraan bermotor.
- 14 -
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 26
Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (9).
Bagian Keempat
Tarif Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pasal 27
Tarif BBNKB ditetapkan masing-masing sebesar :
(1) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar:
a. 15 % (lima belas persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b. 15 % (lima belas persen) untuk kendaraan bermotor umum;
c. 5 % (lima persen) untuk kendaraan bermotor pemerintah, TNI dan POLRI;
d. 0,75 % (nol koma tujuh puluh lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat
besar besar yang tidak menggunakan jalan umum.
(2) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan
sebesar:
a. 1 % (satu persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b. 1 % (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum;
c. 0,075 % (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan
alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum.
(3) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas hibah atau waris ditetapkan sebesar:
a. 0,1 % (nol koma satu persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b. 0,1 % (nol koma satu persen) untuk kendaraan bermotor umum;
d. 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan
alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum.
(4) 1 % (satu persen) untuk Kendaraan Bermotor yang berasal dari penjualan atau Lelang kendaraan
bermotor Pemerintah, TNI dan POLRI, kecuali untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat
besar yang tidak menggunakan jalan umum dikenakan tarif 0,075 % (nol koma nol tujuh puluh lima
persen).
(5) Klasifikasi Kendaraan Bermotor Alat Berat dan Alat Besar yang tidak menggunakan jalan umum
ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Bagian Kelima
Penghitungan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Terutang
Pasal 28
Besaran Pokok Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), (2), (3) dan (4) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 26.
- 15 -
Bagian Keenam
Masa Pajak
Pasal 29
(1) Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu sejak penyerahan
kendaraan bermotor pertama ke penyerahan berikutnya.
(2) Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran.
Bagian Ketujuh
Surat Pemberitahuan
Pasal 30
(1) Orang pribadi atau badan dan/atau ahli waris yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor
wajib memberitahukan kepada Gubernur dengan mengisi SPOPD atau bentuk lain yang
dipersamakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
(2) Apabila terjadi perubahan Kendaraan Bermotor, baik perubahan bentuk, fungsi maupun
penggantian mesin, Wajib Pajak berkewajiban melaporkan dengan menggunakan SPOPD atau
bentuk lain yang dipersamakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
perubahan bentuk dan/atau pergantian mesin selesai dilaksanakan.
(3) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2)
harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau orang
yang diberi kuasa olehnya.
(4) Perubahan bentuk, fungsi dan/atau pengantian mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan
diperhitungkan besaran BBNKB.
(5) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat, nomor telepon, e-mail lengkap pemiliknya;
b. Jenis, merk, isi cylinder/tenaga kuda (HP), tahun pembuatan, tahun perakitan, warna, nomor
rangka dan nomer mesin.
(6) Bentuk, isi, kualitas dan ukuran SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 31
(1) Setiap Wajib Pajak mengisi SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan;
(2) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau orang yang diberi
kuasa olehnya;
(3) SPOPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat:
a. Untuk kendaraan baru 30 (tiga puluh) hari sejak saat kepemilikan;
b. Untuk kendaraan bukan baru sampai dengan penyerahan berikutnya;
c. Untuk Kendaraan Bermotor mutasi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Keterangan
Fiskal/Kwitansi;
- 16 -
d. Apabila terjadi perubahan atas Kendaraan Bermotor dalam masa pajak, baik perubahan bentuk,
fungsi maupun penggantian mesin, wajib melaporkan dengan menggunakan SPOPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
(4) Bentuk, isi, kualitas dan ukuran SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 32
Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31, apabila terlambat dan/atau tidak dilakukan dikenakan sanksi sebesar
Rp.100.000,00 (Seratus ribu rupiah).
Bagian Kedelapan
Ketetapan
Pasal 33
(1) Pemungutan BBNKB dilarang diborongkan.
(2) Gubernur menetapkan BBNKB terutang dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa karcis dan nota
perhitungan.
Bagian Kesembilan
Tata Cara Pembayaran Dan Penagihan
Pasal 34
(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD jika:
a. BBNKB dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan BBNKB yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan
untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
(4) Bentuk, isi, dan tata cara penyampaian STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 35
(1) Pembayaran BBNKB dilakukan pada saat pendaftaran dan/atau bergantinya kepemilikan
Kendaraan Bermotor.
(2) Gubernur menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak
- 17 -
(3) SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan
pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(4) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(5) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran
BBNKB diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 36
(1) Gubernur menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan, apabila BBNKB terutang
berdasarkan SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan
Putusan Banding yang tidak atau kurang bayar setelah 7 (tujuh) hari kerja sejak saat jatuh tempo.
(2) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan, Wajib Pajak
harus melunasi BBNKB terutang.
(3) Apabila jumlah BBNKB terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
Surat Penagihan atau Surat Peringatan, jumlah BBNKB terutang ditagih dengan Surat Paksa.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kesepuluh
Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan BBNKB
Pasal 37
(1) Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan dan
pembebasan BBNKB.
(2) Keringanan BBNKB dapat diberikan terhadap Kendaraan Bermotor dalam penguasaan atau
penyerahan perjanjian jual beli dan hibah kepada Badan-badan, Lembaga-lembaga yang bergerak
di bidang keagamaan, sosial, perawatan orang sakit rohaniah dan jasmaniah, pemadam
kebakaran, angkutan umum, dan dipergunakan semata-mata untuk keperluan di bidang tersebut.
(3) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan BBNKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kesebelas
Wilayah dan Kewenangan Pemungutan
Pasal 38
(1) BBNKB dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor didaftarkan.
(2) Pemungutan BBNKB dilakukan bersamaan dengan penerbitan atau pengesahan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor (STNK).
- 18 -
Pasal 39
(1) Gubernur mempunyai kewenangan pemungutan BBNKB, yang meliputi pendataan, penetapan,
pembayaran, penagihan, pembukuan dan pelaporan serta pengawasan dan penyetoran;
(2) Pelaksanaan kewenangan pungutan BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Dinas Pendapatan.
BAB V
PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 40
Dengan Nama PBBKB dipungut pajak atas bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau
dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan
di air.
Pasal 41
Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan
atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk
kendaraan di air.
Bagian Kedua
Subjek Pajak
Pasal 42
(1) Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
(2) Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
bahan bakar kendaraan bermotor.
(3) Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
(4) Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen
dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun digunakan sendiri.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 43
Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah nilai jual bahan bakar kendaraan
bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
- 19 -
Bagian Keempat
Tarif Pajak
Pasal 44
(1) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 7,5 % (tujuh koma lima persen).
(2) Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat
ditetapkan 50 % (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
untuk kendaraan pribadi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tarif yang dilakukan Pemerintah, maka tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) menyesuaikan dengan tarif yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kelima
Penghitungan Pajak Terutang
Pasal 45
Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Bagian Keenam
Kewenangan dan Wilayah Pemungutan
Pasal 46
(1) Gubernur mempunyai kewenangan pemungutan PBBKB yang meliputi pendataan, penetapan,
penagihan,pembayaran, pembukuan dan pelaporan, serta penyitaan.
(2) Pelaksanaan kewenangan pemungutan PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Dinas Pendapatan.
(3) Kewenangan dan Wilayah Pemungutan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketujuh
Masa Pajak
Pasal 47
Masa Pajak adalah jangka waktu tertentu yang lamanya sama dengan satu bulan kalender sebagai dasar
untuk menghitung besarnya pajak yang terutang.
Bagian Kedelapan
Saat Pajak Terutang
Pasal 48
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor terutang pada saat penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
menyerahkan bahan bakar kendaraan bermotor kepada lembaga penyalur dan konsumen langsung bahan
bakar.
- 20 -
Bagian Kesembilan
Wilayah Pemungutan Pajak
Pasal 49
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor terutang dipungut di wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Bagian Kesepuluh
Surat Pemberitahuan
Pasal 50
(1) Setiap Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, wajib mengisi SPTPD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Penyedia Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
(3) SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
kepada Gubernur selambat-lambatnya 5 (lima) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Pemungutan PBBKB dilarang diborongkan.
Pasal 51
Apabila kewajiban mengisi dan menyampaikan SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) tidak dipenuhi maka dikenakan sanksi
administrasi sebesar Rp.200.000,00 (Dua ratus ribu rupiah).
Bagian Kesebelas
Perhitungan dan Ketetapan Pajak
Pasal 52
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutang PBBKB, Gubernur dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, PBBKB yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2) Apabila SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan tidak disampaikan kepada
Gubernur dalam 20 (dua puluh) hari dan setelah ditegur secara tertulis;
3) Apabila kewajiban mengisi SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan tidak dipenuhi,
PBBKB yang terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah PBBKB yang terutang.
c. SKPDN apabila jumlah PBBKB yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit.
(2) Jumlah kekurangan PBBKB yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 1) dan angka 2), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan, dihitung dari PBBKB yang kurang atau terlambat bayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak saat terutangnya PBBKB.
- 21 -
(3) Jumlah kekurangan PBBKB yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa Kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan PBBKB tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Penyedia PBBKB
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah PBBKB yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan,
dihitung dari PBBKB yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat bulan) dihitung sejak saat terutangnya PBBKB.
Bagian Kedua Belas
Tata Cara Pembayaran Dan Penagihan
Pasal 53
(1) Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor berkewajiban mencantumkan besaran PBBKB pada
Delivery Order (DO) atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor berkewajiban untuk memisahkan besaran PBBKB pada
saat pembayaran di Bank persepsi.
(3) Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor berkewajiban untuk menyetor PBBKB yang terutang
pada Kas Daerah melalui Bank Persepsi atau tempat lain yang ditunjuk dengan menggunakan SSPD
atau dokumen lain yang dipersamakan.
(4) PBBKB dibayar bersamaan pada saat pembayaran bahan bakar Kendaraan Bermotor.
Pasal 54
(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD jika:
a. PBBKB dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPTPD atau dokumen lain yang dipersamakan, terdapat kekurangan
pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak PBBKB dikenakan sanksi administrasi berupa bunga.
(2) Jumlah kekurangan PBBKB yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b, ditambahkan dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulan sejak saat terutangnya PBBKB.
(3) Bentuk, isi, dan tata cara penyampaian STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 55
(1) PBBKB terutang harus dilunasi pada tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya dari masa PBBKB
yang terutang setelah berakhirnya masa PBBKB.
(2) Gubernur menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak.
- 22 -
(3) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan
dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
(4) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(5) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran
PBBKB diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 56
(1) Gubernur menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan, apabila PBBKB terutang
berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang bayar setelah 7 (tujuh) hari kerja sejak
saat jatuh tempo.
(2) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan, harus
melunasi PBBKB terutang.
(3) Apabila jumlah PBBKB terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
Surat Penagihan atau Surat Peringatan, jumlah PBBKB terutang ditagih dengan Surat Paksa.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketigabelas
Pengawasan Dan Pengendalian
Pasal 57
(1) Gubernur berkewajiban mengadakan pengawasan dan pengendalian penggunaan Bahan Bakar
pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk
TNI/POLRI. Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium Solar Packed Dealer (PSPD),
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang
akan menjual BBM serta semua sektor usaha kegiatan ekonomi yang berada di daerah.
(2) Tata cara pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan
Gubernur.
BAB VI
PAJAK AIR PERMUKAAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 58
Dengan Nama PAP dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan di daerah.
- 23 -
Pasal 59
(1) Objek PAP meliputi pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
(2) Dikecualikan dari Objek PAP:
a. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan oleh Instansi Pemerintah yang tidak bersifat
komersial;
b. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian dan
perikanan rakyat;
c. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga/
perorangan;
d. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk kepentingan peribadahan,
penanggulangan bahaya kebakaran dan untuk keperluan penelitian serta penyelidikan yang tidak
menimbulkan kerusakan atas sumber air dan lingkungannya atau bangunan pengairan beserta
tanah turutannya.
Pasal 60
(1) Subyek PAP meliputi Orang Pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Permukaaan.
(2) Wajib Pajak meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan
air permukaan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 61
(1) Dasar pengenaan PAP adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
(2) Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang
dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air;
f. luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air; dan
g. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur.
(4) Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
digunakan untuk kegiatan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah yang memberikan
pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan gas alam diatur dengan Peraturan Gubernur.
- 24 -
(5) Volume pemakaian dan pemanfaatan Air Permukaan, berdasarkan catatan meter dan/atau alat ukur
lainnya.
(6) Penghitungan volume pemakaian dan/atau pemanfaatan air permukaan dilakukan oleh Tim Teknis
dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi
Kalimantan Timur dan dikoordinasikan oleh Dinas Pendapatan Provinsi Kalimantan Timur.
Bagian Ketiga
Tarif Pajak
Pasal 62
Tarif PAP ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
Bagian Keempat
Penghitungan Pajak Terutang
Pasal 63
Besarnya pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
pasal 62 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 peraturan ini.
Bagian Kelima
Kewenangan
Pasal 64
(1) Gubernur mempunyai kewenangan pemungutan Pajak Pengambilan, atau pemanfaatan, atau
pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.
(2) Pelaksanaan kewenangan pemungutan Pajak Pengambilan Pengambilan, atau pemanfaatan, atau
pengambilan dan pemanfaatan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Dinas Pendapatan.
Bagian Keenam
Saat Pajak Terutang
Pasal 65
PAP terutang sejak pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.
Bagian Ketujuh
Wilayah Pemungutan Pajak
Pasal 66
PAP yang terutang dipungut di wilayah daerah Daerah tempat air berada.
- 25 -
Bagian Kedelapan
Ketetapan
Pasal 67
(1) Volume air yang diambil sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (2) huruf d ditetapkan setiap
bulan kelender.
(2) Apabila terjadi perubahan data dan volume sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan
kepada Kepala Dinas Pendapatan.
Bagian Kesembilan
Masa Pajak
Pasal 68
(1) Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
(2) Pajak terutang dalam masa terjadi pada saat pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan.
Bagian Kesepuluh
Surat Pemberitahuan
Pasal 69
(1) Setiap Wajib Pajak mengisi SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan.
(2) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
(3) SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disampaikan kepada Gubernur selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah berakhirnya
masa pajak.
(4) Bentuk, isi, kualitas dan ukuran SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 70
Apabila kewajiban mengisi dan menyampaikan SPOPD atau bentuk lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan ayat (3) tidak dipenuhi ditambah sanksi administrasi sebesar
Rp.25.000,00 (Dua puluh lima ribu rupiah).
Pasal 71
(1) Pemungutan PAP dilarang diborongkan.
(2) Gubernur menetapkan PAP terutang dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa karcis dan nota
perhitungan.
- 26 -
Bagian Kesebelas
Tata Cara Pembayaran Dan Penagihan
Pasal 72
(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD jika:
a. PAP dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk
paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
(4) Bentuk, isi, dan tata cara penyampaian STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 73
(1) PAP terutang harus dilunasi paling lambat 15 (lima belas) hari kerja, bulan berikutnya dari masa
Pajak air permukaan yang terutang.
(2) Gubernur menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak.
(3) SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak
dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(4) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(5) Pembayaran PAP dilakukan di kas umum daerah atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Gubernur.
(6) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran
pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 74
(1) Gubernur menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan, apabila PAP terutang berdasarkan
SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding
yang tidak atau kurang bayar setelah 7 (tujuh) hari kerja sejak saat jatuh tempo.
(2) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan, harus
melunasi pajak terutang.
(3) Apabila jumlah pajak terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
Surat Penagihan atau Surat Peringatan, jumlah pajak terutang ditagih dengan Surat Paksa.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- 27 -
BAB VII
PAJAK ROKOK
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 75
Dengan nama Pajak Rokok dipungut pajak atas konsumsi rokok.
Pasal 76
(1) Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
(2) Rokok sebagaimana di maksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak
dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Bagian Kedua
Subjek Pajak
Pasal 77
(1) Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
(2) Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin
berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 78
Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang di tetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.
Bagian Keempat
Tarif Pajak
Pasal 79
Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen) dari cukai rokok.
Bagian Kelima
Penghitungan Pajak Terutang
Pasal 80
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana di maksud dalam pasal 78.
- 28 -
Bagian Keenam
Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
Pasal 81
Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
Bagian Ketujuh
Ketentuan Tata Cara Penerbitan Dan Penyampaian Dokumen
Pasal 82
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT diatur dengan Peraturan Gubernur.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain
yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB VIII
Bagian Kesatu
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan
Dan Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administrasi
Pasal 83
(1) Gubernur atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan, SKPDKB, SKPDKBT, STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
(2) Gubernur dapat:
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa kenaikan dan/atau bunga Pajak
terutang, yang disebabkan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan Pajak yang tidak benar.
(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atau kenaikan Pajak
terutang, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Keringanan
Pasal 84
(1) Gubernur dapat memberikan Keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Setiap tahun Gubernur dapat menghapuskan Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih atas usul
dari Kepala Dinas.
(3) Tata cara pemberian keringanan, pembebasan dan insentif sebagaimana pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur.
- 29 -
Bagian Ketiga
Keberatan dan Banding
Pasal 85
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atas penerbitan:
a. SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan ;
b. SKPDKB ;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB ;
e. SKPDN.
(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari Pajak yang terutang (sejumlah yang disetujui oleh wajib pajak).
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (2), (3), dan (4) tidak
dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Gubernur atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(7) Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(8) Keputusan Gubernur atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau
menambah besarnya pajak yang terutang.
(9) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Gubernur tidak
memberikan suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 86
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap
keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dengan
melampirkan salinan dari surat Keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 87
(1) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
- 30 -
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
BAB IX
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 88
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak kepada
Gubernur secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :
a. Nama dan Alamat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. Identitas Wajib Pajak;
c. Masa Pajak;
d. Besarnya kelebihan pembayaran Pajak;
e. Alasan yang jelas.
(2) Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterima permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus sudah
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat waktu, Gubernur tidak
memberikan keputusan, maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dianggap
dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak Daerah lainnya, kelebihan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu
utang Pajak Daerah dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak
(SPMKP).
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) setiap bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan Pajak.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
- 31 -
Pasal 89
Apabila kelebihan pembayaran Pajak diperhitungkan dengan utang Pajak Daerah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (4), pembayarannya dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan bukti
pemindahbukuan juga berlaku sebagai bukti pembayaran.
BAB X
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 90
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima)
tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib
Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya
kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 91
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB XI
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 92
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dapat diberikan insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
- 32 -
BAB XII
IDENTITAS WAJIB PAJAK
Pasal 93
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah dan akan melakukan pendaftaran diwajibkan memiliki Identitas Wajib
Pajak.
(2) Identitas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan sarana administrasi perpajakan
yang digunakan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerah.
(3) Identitas Wajib Pajak untuk Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur.
BAB XIII
BAGI HASIL DAN PENGGUNAAN PAJAK
Pasal 94
(1) Hasil Penerimaan PKB dan BBNKB diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 30% (tiga puluh
persen).
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi:
a. sebesar 60% (enam puluh persen) berdasarkan realisasi; dan
b. sebesar 40% (empat puluh persen) secara tertimbang.
Pasal 95
(1) Hasil Penerimaan PBBKB diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bagi:
a. sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan realisasi; dan
b. sebesar 30% (tiga puluh persen) secara tertimbang.
Pasal 96
(1) Hasil Penerimaan PAP diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 50% (lima puluh persen).
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bagi :
a. sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan realisasi; dan
b. sebesar 30% (tiga puluh persen) secara tertimbang.
(3) Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota, hasil penerimaan dimaksud diserahkan pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan
sebesar 80% (delapan puluh persen).
Pasal 97
(1) Hasil Penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Kabupaten/Kota sebesar 70% (tujuh puluh
persen).
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi :
a. sebesar 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan realisasi; dan
b. sebesar 30% (tiga puluh persen) secara tertimbang.
- 33 -
Pasal 98
(1) Hasil penerimaan PKB paling sedikit 10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada
Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan
modal dan sarana transportasi umum.
(2) Hasil penerimaan Pajak Rokok, termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan
paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan
penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
(3) Untuk menunjang kegiatan pemungutan, intensifikasi dan ekstensifikasi Pajak Daerah diberikan
biaya operasional yang besarnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pasal 99
Tata cara pembagian bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal 98
diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB XIV
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK
Pasal 100
(1) Piutang pajak yang sudah kedaluwarsa dapat dilakukan penghapusan.
(2) Penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur
berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak dari Kepala Dinas.
(3) Permohonan penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurangkurangnya
memuat :
a. nama dan alamat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. identitas Wajib Pajak;
c. jumlah piutang pajak;
d. tahun pajak;
e. jenis pajak;
(4) Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dapat
menetapakan penghapusan piutang pajak sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
sedangkan untuk penghapusan piutang pajak diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan DPRD.
Pasal 101
(1) Terhadap piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi akan tetapi belum kedaluwarsa, dimasukkan ke
dalam daftar piutang pajak yang akan dihapuskan.
(2) Piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud ayat (1), adalah:
a. Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta;
b. kekayaan/warisan yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian dari Lurah dan laporan
hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pendapatan;
c. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi, yang dibuktikan berdasarkan laporan hasil
pemeriksaan Petugas Dinas Pendapatan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memang benarbenar
tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
- 34 -
d. Wajib Pajak yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan dari hasil penjualan
hartanya tidak mencukupi untuk melunasi utang pajaknya;
e. Wajib Pajak yang tidak ditemukan.
(3) Terhadap piutang pajak yang dicadangkan sebagai piutang pajak yang akan dihapuskan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan lagi tindakan penagihan.
(4) Tata cara penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ditetapkan oleh
Gubernur.
BAB XV
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 102
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) adalah :
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan
kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan
pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak
kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur
dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 103
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus
sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 35 -
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah ;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
BAB XVII
PEMERIKSAAN
Pasal 104
(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundangundangan
perpajakan Daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk
merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
- 36 -
Pasal 105
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dalam bentuk:
a. pemeriksaan lengkap;
b. pemeriksaan sederhana;
(2) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan di tempat domisili
atau dilokasi usaha Wajib Pajak, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan dan atau
tahun-tahun pajak sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan teknis pemeriksaan yang pada
umumnya lazim digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan:
a. di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana;
b. di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan.
Pasal 106
(1) Pemeriksaaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilakukan dengan berpedoman pada norma
pemeriksaan yang memuat batasan terhadap pemeriksa, pemeriksaan, dan Wajib Pajak.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan ke dalam laporan
pemeriksaan.
(3) Terhadap temuan pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak atau
Wajib Pajak dan Penanggung Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
(4) Temuan hasil pemeriksaan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuatkan berita acara yang
ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan Wajib Pajak yang bersangkutan.
(5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan laporan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diterbitkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau
SKPDN atau STPD.
Pasal 107
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2);
b. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 108
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD/SPOPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan
keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
- 37 -
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD/SPOPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan
keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 109
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 110
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur yang karena kealpaannya tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dan ayat (2) di
pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan
tindak pidana pengaduan.
Pasal 111
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dan Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) merupakan
penerimaan Negara.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 112
(1) Terhadap Pajak Daerah yang terutang dalam masa pajak yang berakhir sebelum berlakunya
Peraturan daerah ini tetap berlaku ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku sebelum peraturan ini.
(2) Selama peraturan pelaksana Peraturan daerah ini belum dikeluarkan maka peraturan pelaksana
yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan daerah ini.
(3) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah
nomor 21 tahun 2008 dan Peraturan Daerah nomor 22 tahun 2008 masih dapat ditagih selama
jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terhutang.
- 38 -
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 113
(1) Ketentuan mengenai pemberlakuan pengenaan PKB dan BBNKB Kendaraan milik Pemerintah
Pusat/ TNI / POLRI dan Pemerintah Daerah, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
(2) Ketentuan mengenai pemberlakuan tarif progresif untuk kendaraan bermotor pribadi ke dua dan
seterusnya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
(3) Ketentuan mengenai pemberlakuan Pajak Rokok sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.
Pasal 114
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 115
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor
21 Tahun 2008 tentang PKB, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 22 Tahun 2008 tentang
BBN-KB,Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 05 Tahun 2002 tentang PBB-KB, dan
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 06 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 116
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
Ditetapkan di Samarinda
pada tanggal 17 Januari 2011
GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR,
ttd
H. AWANG FAROEK ISHAK
Dindangkan di Samarinda
pada tanggal 17 Januari 2011
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR,
ttd
H. IRIANTO LAMBRIE
LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2011 NOMOR 0101
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum Setda
Prov. Kaltim,
H. SOFYAN HELMI, SH, M.Si
Pembina Utama Muda
Nip. 19560628 198602 1 004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar